
Usdek dan Al Huriyah: Jejak Bung Karno di Kepulauan Kei
Oleh: Muzni Wokanubun
Di hamparan laut biru Kepulauan Kei, jejak sejarah sering terpatri bukan hanya pada kata-kata, nilai, dan semangat zaman tetapi juga pada batu prasasti dan bangunan. Dua di antaranya adalah jembatan Usdek dan masjid Al Huriyah — simbol yang merekam denyut perjuangan Bung Karno dan resonansi pemikirannya yang merambah jauh hingga ke timur Nusantara.
Nilai dan kata-kata yang introduksi oleh Bung Karno yang kemudian mengakar dan abadi menjadi prasasti yang selalu akan dikenang.
Jejak Sejarah: Dari Panggung Nasional ke Pulau Kei
Bung Karno, sang Proklamator, bukan hanya meninggalkan warisan berupa kemerdekaan politik, tetapi juga sebuah falsafah kebangsaan yang berlapis. Pada awal 1960-an, ketika semangat revolusi masih berkobar, ia mencetuskan USDEK — singkatan dari UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.

USDEK bukan sekadar doktrin politik; ia merupakan bagian dari upaya untuk mengikat arah bangsa dalam satu simpul ideologis. Dan di Kepulauan Kei, ide itu muncul menjadi sebuah kesadaran bersama: bahwa kemerdekaan tidak hanya untuk dihafal, tetapi untuk dihidupi.
Di antara Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual, berdiri kokoh sebuah jembatan penghubung yang oleh masyarakat disebut Jembatan USDEK.
Sebuah kesengajaan jembatan ini dinamai demikian. Seperti halnya USDEK yang menghubungkan nilai-nilai dasar negara dengan arah pembangunan nasional, jembatan ini menghubungkan dua daratan penting di Kei. Ia menjadi simbol bahwa kemajuan infrastruktur tidak lepas dari kesadaran ideologis yang membingkai arah bangsa.
Sementara itu, Al Huriyah 45 adalah nama masjid di pusat kota Kota Tual– kata Al Huriyah adalah kata yang berasal dari bahasa Arab memiliki arti “kemerdekaan” atau “kebebasan” — menjadi gema yang mempertautkan semangat nasionalisme Bung Karno dengan jiwa religius masyarakat kei.

Di Kepulauan Kei, dua kata ini diabadikan sebagai nama masjid dan jembatan. Ia menjadi metafora: kemerdekaan bukan hadiah, melainkan hasil dari perjuangan yang berakar pada iman dan keyakinan.
Dalam konteks sejarah nasional, pilihan nama ini bukan sekadar estetika bahasa, tetapi penegasan makna kemerdekaan sebagai amanah Tuhan yang harus dijaga.
Filosofi yang Menyatu dengan Laut dan Manusia Kei
Masyarakat Kei, yang hidup di antara gelombang dan karang, mengenal kebebasan bukan sebagai sesuatu yang liar, tetapi sebagai harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan. Dalam kerangka ini, USDEK dan Al Huriyah menyatu — menjadi jembatan antara ideologi nasional dan nilai-nilai lokal.
Bung Karno selalu percaya bahwa kemerdekaan harus berakar pada jati diri bangsa. Di Kei, jati diri itu bersandar pada tradisi hukum adat Larvul Ngabal yang menekankan keadilan, persaudaraan, dan penghormatan terhadap sesama. USDEK memberi kerangka politiknya, Al Huriyah memberi rohnya.
Relevansi di Masa Kini
Di kehidupan yang berjalan begitu cepat, jejak Bung Karno di Kepulauan Kei ini mengingatkan kita bahwa kemerdekaan bukan sekadar status hukum negara, melainkan kesadaran moral yang harus dipelihara. USDEK mengajarkan arah dan prinsip; Al Huriyah menuntun pada makna dan nilai.
Membaca sejarah ini, kita seperti diajak Bung Karno untuk kembali menguji diri: Apakah kita masih memaknai kemerdekaan sebagai tanggung jawab kolektif, atau hanya sekadar simbol teriakan dan dipertontonkan.
Laut, Angin, dan Kata yang Abadi
Di antara tiupan angin laut dan riak ombak di Kepulauan Kei, USDEK dan Al Huriyah bukan sekadar catatan arsip. Ia adalah jejak ide dan nurani. Bung Karno mungkin sudah tiada, tetapi kata-kata dan nilai yang ia titipkan masih berlayar, menyusuri pulau-pulau, menjemput generasi baru untuk memahami bahwa kemerdekaan harus dirawat dengan keberanian, kebijaksanaan, dan cinta tanah air.